Budi Mulyawan : Adakah Gubernur Jakarta Yang Mampu Bebaskan Ibukota Dari Kemacetan ?

0
IMG-20251101-WA0053

JAKARTA, Opininews.id,— Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Komunitas Banteng Asli Nusantara (DPN Kombatan), Budi Mulyawan, menyoroti persoalan kemacetan di Kota Jakarta yang semakin kronis dan belum terurai tuntas hingga kini.

Ia menilai, sebagai kota global sekaligus pusat pemerintahan, Jakarta semestinya mampu membangun sistem transportasi yang efisien, modern, dan bebas dari kemacetan parah.

“Jakarta sebagai kota global dan ibukota negara seharusnya bisa bebas dari kemacetan. Pertanyaannya sekarang, adakah Gubernur Jakarta yang benar-benar mampu membebaskan kota ini dari macet ?” ujar Budi Mulyawan dalam pernyataannya kepada sejumlah awak media termasuk OPININEWS.ID di Jakarta, Sabtu (1/11/2025).

Lebih lanjut Budi Mulyawan menjelaskan, tata kota Jakarta sejatinya sudah dirancang dengan cermat sejak lebih dari seabad lalu. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda sekitar tahun 1910-an, Pemerintah Hindia Belanda menyusun Plan Zuid atau Rencana Selatan, yang merupakan rancangan pengembangan Batavia sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan di Asia Tenggara. Perencanaan itu menjadi dasar pertumbuhan kota modern di kemudian hari.

Lanjut Budi Mulyawan setelah Indonesia merdeka, pemerintah melanjutkan pembangunan tata ruang kota melalui Rencana Induk Kota Jakarta tahun 1952 dan 1965 yang memuat prinsip pengembangan wilayah administratif, jaringan jalan, dan zonasi perumahan serta industri.

Memasuki era reformasi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta 2030 yang mengarah pada pengembangan kota berkelanjutan dan berdaya saing global.

“Rencana tata kota Jakarta sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial dan terus berkembang. RTRW 2030 diarahkan untuk menjadikan Jakarta sebagai kota berkelanjutan dan berdaya saing global,” kata Budi Mulyawan.

Menurutnya, alasan Jakarta dipilih sebagai ibu kota negara pada tahun 1945 juga sangat kuat. Selain faktor sejarah sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda, Jakarta memiliki posisi strategis di pesisir utara Pulau Jawa yang berhadapan langsung dengan Laut Jawa dan memiliki akses transportasi laut yang vital.

“Selain faktor geografis, Jakarta punya nilai historis sebagai pusat pemerintahan dan tempat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sejak itu, kota ini menjadi pusat politik, ekonomi, dan budaya nasional,” ujarnya.

Namun, seiring pesatnya pertumbuhan penduduk dan kendaraan, perencanaan yang baik tidak diimbangi pelaksanaan yang konsisten. Budi menilai, berbagai kebijakan pemerintah daerah dalam mengatasi kemacetan masih bersifat parsial dan jangka pendek.

Meskipun pembangunan transportasi massal seperti MRT, LRT, dan TransJakarta menunjukkan kemajuan signifikan, dampaknya terhadap penurunan kemacetan belum terasa maksimal.

“Jumlah kendaraan terus meningkat, sedangkan kapasitas jalan terbatas. Ditambah lagi, disiplin berlalu lintas masyarakat masih rendah,” ujar Budi.

Ia menambahkan bahwa beberapa kawasan di ibu kota tetap menjadi titik kemacetan utama setiap hari, seperti Tomang–Slipi, Kuningan–Semanggi, Sudirman–Thamrin, serta wilayah Cawang, Grogol, dan Pancoran.

“Pada jam sibuk, terutama pukul 06.30–09.30 dan 16.30–20.00, ruas-ruas tersebut hampir tidak bergerak,” ujarnya.

Data Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) menunjukkan bahwa jumlah kendaraan di Jakarta mencapai lebih dari 23 juta unit, terdiri dari sekitar 17 juta sepeda motor dan 6 juta mobil pribadi. Angka tersebut belum termasuk kendaraan dari wilayah penyangga seperti Bekasi, Depok, Tangerang, dan Bogor yang setiap hari masuk ke Jakarta.

Budi mengingatkan bahwa kemacetan bukan hanya persoalan kenyamanan, tetapi juga menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat besar.

“Kerugian ekonomi akibat kemacetan diperkirakan mencapai Rp100 triliun per tahun. Warga kehilangan waktu produktif, biaya bahan bakar meningkat, dan polusi udara makin parah,” katanya.

Ia memaparkan, dari jumlah tersebut, sekitar Rp65 triliun berasal dari waktu yang terbuang, Rp20 triliun dari pemborosan bahan bakar, dan Rp10 triliun akibat dampak lingkungan.

Selain kerugian ekonomi, kemacetan juga meningkatkan tingkat stres, kelelahan, dan menurunkan kualitas hidup warga kota.

Masalah kemacetan Jakarta juga berdampak langsung pada kota-kota penyangga di sekitarnya. Ribuan warga komuter dari Bekasi, Depok, Tangerang, dan Bogor setiap hari menempuh perjalanan panjang menuju tempat kerja di Jakarta.

“Kemacetan di Jakarta memicu kemacetan di kota-kota sekitar. Biaya hidup meningkat, kualitas udara menurun, dan waktu produktif masyarakat hilang,” tutur Budi.

Budi juga menyinggung dampak lingkungan yang diakibatkan oleh kemacetan. Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, sektor transportasi menyumbang lebih dari 70 persen emisi karbon di ibu kota.

“Setiap hari, jutaan kendaraan mengeluarkan polutan yang memperburuk kualitas udara dan berdampak langsung pada kesehatan warga,” ucap Budi Mulyawan

Selanjutnya Budi Mulyawan mengapresiasi langkah Pemprov DKI Jakarta yang mulai memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk mengatur waktu lampu lalu lintas di 20 titik persimpangan sejak tahun 2023. Teknologi tersebut memungkinkan pengaturan durasi lampu secara otomatis berdasarkan tingkat kepadatan kendaraan di setiap ruas jalan.

“Teknologi AI diharapkan membantu mengatur waktu lampu lalu lintas sesuai kepadatan kendaraan. Ini langkah positif, tetapi belum cukup,” kata Budi Mulyawan

Lanjut Budi Mulyawan sistem itu antara lain diterapkan di Slipi, Grogol, Tomang, dan Kuningan, dan diklaim mampu menurunkan waktu antrean kendaraan hingga 12 persen di jam sibuk.

Untuk mengurai kemacetan secara berkelanjutan, Budi menilai dibutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh. Ia mengusulkan peningkatan infrastruktur transportasi umum, integrasi antarmoda yang efektif, serta penegakan hukum lalu lintas yang konsisten.

“Kebijakan ganjil-genap dan pembangunan jalan tol hanya solusi sementara. Kita butuh sistem transportasi yang terintegrasi, serta kesadaran masyarakat untuk beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum,” ujarnya.

Selain itu, ia menilai perlu adanya pengaturan jam kerja agar tidak terjadi penumpukan perjalanan pada waktu yang sama, serta pengembangan transportasi berbasis energi ramah lingkungan seperti bus listrik dan kendaraan berbasis listrik (electric vehicle). Pemanfaatan teknologi digital untuk perencanaan perjalanan juga penting agar mobilitas warga lebih efisien.

Menutup pernyataannya, Budi Mulyawan. Yang juga sebagai Ketua Dewan Pembina Jaya Center Foundation relawan Gubernur Pramono Anung dan Wakil Gubernur H. Rano Karno ini menyampaikan optimisme bahwa Jakarta dapat meniru kota-kota besar dunia seperti Singapura, Tokyo, dan Hong Kong yang berhasil menekan kemacetan dengan kebijakan transportasi modern, pengaturan ketat kepemilikan kendaraan, serta sistem transportasi publik yang andal.

“Jakarta bisa bebas dari kemacetan jika dilakukan dengan serius, konsisten, dan melibatkan semua pihak. Tapi butuh pemimpin yang visioner dan berani mengambil langkah tegas,” tutup Budi Mulyawan.

Editor : (RED/BM).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *